Revolusi Amerika
Benua Amerika baru diketahui keberadaannya oleh masyarakat dunia khususnya Eropa pada sekitar abad ke-15. Oleh karena itu, benua ini sering juga disebut benua atau dunia baru (a new world). Selain Amerika, sebutan benua atau dunia baru juga sering diarahkan pada benua Australia yang keberadaannya baru diketahui pada sekitar abad ke-16. Pengertian benua baru di sini bukan berarti benua tersebut baru terbentuk dibandingkan dengan benua-benua lainnya. Pengertian baru di sini mengarah pada pengetahuan manusia pada saat itu yang baru mengetahui bahwa ada benua lain selain Eropa, Asia, dan Afrika di dunia ini yaitu benua Amerika dan Australia. Selain itu, penyebutan dunia baru juga tampaknya menunjukkan pandangan yang bersifat Eropa sentris dalam pengertian bahwa dengan ditemukannya benua Amerika dan Australia memberikan dunia baru bagi kelanjutan perkembangan kehidupan bangsa Eropa. Hal ini bisa kita lihat dari gerakan migrasi orang-orang Eropa ke kedua benua ini pasca ditemukannya benua Amerika dan Australia.
Benua Amerika |
Ingat dengan perjanjian Tordesillas yang seolah-olah membagi dunia ini untuk dua kekuasaan besar pada saat itu yaitu Portugis dan Spanyol. Portugis berhak melakukan pelayaran ke sebelah barat sementara Spanyol ke sebelah timur.
Christopher Columbus |
Benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 ketika Columbus menginjakkan kakinya di kepulauan Bahama yang kemudian diberi nama San Salvador. Columbus adalah seorang berkebangsaan Genoa, Italia, yang mengabdi pada raja Spanyol. Kedatangannya ke benua Amerika adalah untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh Kerajaan Spanyol dalam rangka mencari jalan menuju India. Untuk mencapai India, Columbus harus berlayar ke arah timur, sebab arah barat dengan rute menyusuri pantai benua Afrika merupakan hak yang dimiliki oleh Portugis. Mengapa India menjadi daerah tujuan utama? Hal ini disebabkan India merupakan pusat komoditi perdagangan yang sangat digemari oleh bangsa Eropa pada saat itu yaitu rempah-rempah. Perjalanan menuju India yang dilakukan oleh Columbus ternyata membawanya ke benua Amerika. Sampai akhir hayatnya tampaknya Columbus tetap meyakini bahwa daerah itu adalah India bukan benua lain.
Masyarakat dunia sampai saat ini meyakini bahwa Columbus-lah penemu benua Amerika. Pendapat tersebut harus kita kritisi kembali. Jauh sebelum Columbus datang ke Amerika, benua ini sudah dihuni oleh penduduk yang disinyalir berasal dari daratan Asia yang sampai ke Amerika dengan menyeberangi selat Bering pada saat terjadinya masa glasial. Mereka kemudian disebut oleh Columbus sebagai bangsa Indian sebagai akibat kesalahan Columbus menganggap daerah tersebut adalah India. Orang-orang Indian ini telah mampu mengembangkan kebudayaan dan peradaban yang sangat tinggi. Coba kamu ingat kembali tentang hasil-hasil kebudayaan dan peradaban yang telah dihasilkan oleh bangsa Maya, Inca, Toltec, A tec, dan lain-lain. Artinya sebelum Columbus datang ke Amerika, di sana telah terbentuk suatu peradaban yang sangat tinggi. Bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa telah datang bangsa-bangsa lain di Amerika sebelum kedatangan Columbus bisa diperhatikan dari fakta-fakta berikut ini.
Pada awal abad ke-11, sekelompok penjelajah dari Norwegia yang lebih dikenal dengan sebutan bangsa Viking, di bawah pimpinan Leif Ericson telah sampai di Vinland, Amerika Utara. Kemudian pada abad ke-15 sebelum kedatangan Columbus diperkirakan ekspedisi bangsa Cina di bawah pimpinan laksamana Cheng Ho juga telah mendarat di benua Amerika. Melihat faktafakta tersebut, apakah masih tepat pernyataan bahwa Columbus sebagai penemu benua Amerika?
Tampaknya pernyataan Columbus sebagai penemu benua Amerika perlu dimaknai lebih dalam. Termasuk juga unsur Eropa Sentris yang sangat kental dalam pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut perlu dimaknai dari sisi pengaruh yang ditimbulkan pasca penemuan benua Amerika oleh Columbus, khususnya bagi Eropa. Penemuan oleh bangsa Viking ataupun oleh bangsa Cina tidak memberikan dampak apa-apa bagi masyarakat dunia. Hal ini berbeda dengan pasca ditemukannya benua Amerika oleh Columbus.
Penemuan benua Amerika oleh Columbus kemudian diikuti oleh para penjelajah lainnya seperti Ferdinand Magellan, Hernando Cortez, Francisco Fizarro, John Cabot, Jacques Cartier, Sir Walter Raleigh, Amerigo Vespucci, dan lain-lain. Kedatangan para penjelajah ini juga kemudian diikuti dengan arus migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari benua Eropa ke benua Amerika. Baru setelah proses penjelajahan yang cukup panjang diyakinilah bahwa daerah yang ditemukan oleh Columbus tersebut adalah suatu benua yang baru diketahui keberadaannya yang kemudian diberi nama benua Amerika. Penamaan benua Amerika sendiri diambil dari nama Amerigo Vespucci yang telah berhasil membuat peta yang dapat menggambarkan keberadaan benua ini secara utuh.
Kedatangan para penjelajah Eropa ke benua Amerika membuka pintu bagi orang-orang Eropa untuk bermigrasi ke Amerika. Misi para penjelajah datang ke Amerika tidak hanya didasarkan pada petualangan saja, tetapi mengandung misi yang sangat besar untuk mencari dan mendirikan daerah-daerah baru bagi negaranya. Hal ini didukung juga oleh situasi dan kondisi yang terjadi di Eropa pada saat itu. Kebutuhan akan rempah-rempah yang mendorong pencarian daerah-daerah utama penghasil rempah-rempah serta semangat reconquista untuk menyebarkan agama Nasrani menjadi pendorong kuat pencarian dan penaklukan daerah-daerah baru. Hal ini bisa kita lihat dari proses kolonisasi yang dilakukan oleh negara Portugis dan Spanyol. Akan tetapi untuk kasus kolonisasi yang terjadi di Amerika bagian utara yang sekarang ini menjadi Kanada dan Amerika Serikat memiliki sejarah yang berbeda. Arus migrasi bangsa Eropa yang datang ke Amerika Utara lebih banyak didominasi oleh adanya keinginan kuat untuk mencari kebebasan di tanah yang baru.
Pada abad XVII-XIX banyak penduduk Eropa Utara yang bermigrasi ke Amerika Utara. Adapun yang mula-mula pindah adalah orang-orang yang merasa tertindas oleh pertentangan agama ataupun politik yang terjadi di negaranya. Pada abad ke-17, di Inggris terjadi perang agama antara golongan Anglikan dan Puritan. Raja pada saat itu menganut aliran Anglikan dan menganggap golongan Puritan dapat mengurangi kewibawaan raja. Oleh karena itu, terjadi penindasan terhadap golongan puritan. Mereka yang tidak mau tunduk kepada paksaan raja terpaksa pindah ke Amerika utara dengan tujuan untuk memperoleh kebebasan beragama di tanah baru. Selain itu, di Prancis juga timbul perang agama antara golongan Hogenot dengan golongan Katolik. Hal ini juga kemudian mendorong golongan Hogenot untuk melakukan perpindahan ke Amerika Utara supaya dapat bebas menjalankan agamanya.
Pemerintahan raja yang absolut dan penindasan-penindasan dari raja serta kaum bangsawan terhadap rakyat menyebabkan banyak rakyat Eropa melakukan migrasi ke Amerika. Sejak abad ke-18 dan ke-19, banyak orang Eropa yang bermigrasi ke Amerika karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka menjual semua hartanya untuk dibawa ke Amerika. Mereka berlayar dengan kapal-kapal kecil menyeberangi lautan Atlantik. Mereka biasanya pindah secara berkelompok-kelompok yaitu satu kapal terdiri atas orang-orang yang berasal dari satu daerah dan setibanya di Amerika mereka mendiami satu tempat yang sama. Di Amerika, mereka dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kesulitan seperti alam yang berat, hutan belantara yang lebat, binatang buas dan permusuhan dengan suku-suku Indian.
Kaum imigran ini menempati daerah-daerah di pantai timur Amerika Utara secara berkelompok sesuai dengan daerah asal mereka. Mereka mempunyai sifat-sifat dan adat sendiri-sendiri yang berbeda. Daerah-daerah yang ditempati oleh para imigran ini kemudian lebih dikenal dengan istilah koloni. Koloni pertama di Amerika utara adalah Jamestown yang terletak di daerah Virginia. Daerah ini dengan cepat berkembang menjadi daerah makmur setelah berhasil mengembangkan penanaman tembakau.
Pada abad ke-17, sudah ada beberapa koloni di Amerika Utara seperti Virginia, Massachussetts, Connecticut, New Hampshire, Maine, Maryland, Carolina, New Jersey, Pennsylvania, dan lain-lain. Di tiap-tiap koloni itu berkembang sikap kebebasan, lepas dari tekanan seperti yang mereka harapkan waktu meninggalkan tanah airnya di Eropa. Koloni-koloni ini merupakan benih dari munculnya negara Amerika Serikat pada kemudian hari.
Hubungan antara koloni dengan Kerajaan Inggris
Setiap koloni berdiri sendiri dan terpisah. Tiap-tiap koloni mempunyai pelabuhan-pelabuhan sendiri yang langsung berhubungan dengan Eropa. Tiap-tiap koloni membentuk peraturan-peraturan untuk kepentingan mereka sendiri, juga memilih pemimpin-pemimpin mereka dan Dewan Rakyat sendiri. Tetapi ada hal-hal yang harus dilakukan secara bersama, umpamanya kegiatan perdagangan, pelayaran, produksi barang jadi, dan pengadaan mata uang. Hal-hal ini dilaksanakan secara bersama antarkoloni dan tentu saja memerlukan peraturan bersama pula.
Keadaan perekonomian di setiap koloni semakin lama menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan koloni untuk mengekspor hasil pertanian ke negara-negara Eropa, khususnya Inggris. Sesudah koloni-koloni di Amerika muncul dan berkembang, raja Inggris menghendaki agar hubungan kerajaan Inggris dengan koloni-koloni tersebut jangan sampai terputus. Untuk itu, raja Inggris mengangkat pejabat perwakilan kerajaan Inggris seperti Gubernur Jenderal serta hakim koloni. Dewan Rakyat yang dipilih oleh rakyat koloni bersama-sama dengan gubernur membuat peraturan-peraturan untuk kesejahteraan koloni. Kemudian raja Inggris mulai membuat peraturan-peraturan melalui gubernur untuk melaksanakan kebijakan yang pada umumnya sesuai dengan kepentingan Inggris. Dewan penasihat raja Inggris juga sempat menuntut haknya untuk meninjau kembali pembuatan peraturan-peraturan di koloni. Hal ini menyebabkan beberapa peraturan di koloni yang telah dibuat bersama antara Dewan Rakyat koloni dengan Gubernur diubah oleh Inggris untuk kepentingan Kerajaan Inggris sendiri. Kaum kolonis selalu berusaha untuk menghindari pembatasan dari Kerajaan Inggris itu.
Sejak pertengahan abad ke-17, Pemerintah Inggris sedikit demi sedikit mulai mengeluarkan peraturan yang umumnya lebih menguntungkan Inggris, tetapi pada umumnya kolonis-kolonis tidak mau menaati peraturan yang dianggap merugikan mereka. Kebebasan politik yang cukup besar di koloni-koloni itu akhirnya mengakibatkan hubungan mereka dengan Inggris makin jauh dan para kolonis makin lebih bersifat Amerika daripada Inggris.
Hubungan antara kolonis dengan pihak kerajaan Inggris dilakukan atas dasar faktor-faktor sebagai berikut.
- Inggris merupakan tanah kelahiran dari mayoritas para kolonis, sehingga secara psikologis terjalin ikatan emosional yang cukup erat dari para kolonis terhadap tanah Inggris;
- Meskipun dalam beberapa hal para kolonis tidak menyukai kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintahan Kerajaan Inggris dan justru inilah faktor yang mendorong kepindahan para kolonis ke Amerika, akan tetapi para kolonis masih mengakui raja Inggris sebagai raja mereka;
- Beberapa koloni dibentuk atas dukungan dana dari pihak pemerintahan Kerajaan Inggris, sehingga secara otomatis koloni tersebut akan terikat kuat dengan pemerintahan Kerajaan Inggris;
- Para kolonis masih sangat tergantung pada pihak Kerajaan Inggris terutama dalam segi keamanan. Pada masa itu para kolonis hidupnya belum aman karena banyaknya ancaman dari serangan orang Indian dan usaha-usaha perluasan wilayah yang dilakukan oleh negara Eropa lainnya seperti Prancis dan Spanyol. Para kolonis belum memiliki tentara yang dapat diandalkan untuk menjaga keamanan, sehingga masih dibutuhkan bantuan tentara Kerajaan Inggris.
Di antara faktor-faktor tersebut, tampaknya faktor yang terakhir merupakan hal dominan yang menyebabkan kuatnya ketergantungan para kolonis terhadap kekuasaan Inggris di Amerika. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya perang antara Inggris dengan Prancis yang dipicu masalah perluasan kekuasaan kedua negara di Amerika. Masalah inilah yang pada akhirnya juga memicu gerakan para kolonis untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris.
Dalam usaha meluaskan pengaruh kekuasaan Prancis di Amerika, lalu Prancis mengirimkan para pemukim, penjelajah, misionaris serta pedagang ke lembah sungai St. Lawrence di Kanada sebelah timur. Selain itu, Prancis juga mulai menguasai lembah sungai Mississippi sampai New Orleans, sehingga daerah kekuasaan Prancis membentang di sebelah barat koloni Inggris. Hal ini menyebabkan terhalangnya perluasan daerah pertanian baru bagi koloni Inggris yang saat itu justru sedang gencar melakukan penjelajahan ke arah barat. Pada tahun 1754, timbul bentrokan bersenjata antara tentara Prancis dengan anggota milisi koloni Virginia di bawah pimpinan George Washington.
Bentrokan tersebut pada akhirnya memicu pecahnya perang antara Prancis dengan Inggris. Perang yang terjadi antara tahun 1756-1763 ini kemudian dikenal dengan sebutan perang laut tujuh tahun. Hal ini didasarkan pada lamanya perang tersebut yang berlangsung selama tujuh tahun. Perang ini tidak hanya berlangsung di Amerika saja, melainkan juga di belahan dunia lainnya yang terdapat kekuasaan Inggris dan Prancis yaitu utamanya di India. Perang laut tujuh tahun ini dimenangkan oleh Inggris yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 1763.
Isi perjanjian Paris 1763 tersebut adalah:
- Kanada dan Lousiana di sebelah timur Mississippi menjadi hak milik Inggris, sedangkan Prancis diberikan daerah di sebelah barat Mississippi;
- Prancis harus menyerahkan semua jajahannya di India kepada Inggris.
Akhir peperangan tersebut, kekuasaan Prancis mulai berkurang di Amerika, sehingga Inggris muncul menjadi kekuatan terbesar di Amerika Utara. Setelah menang dari Prancis, wilayah kekuasaan Inggris di Amerika luasnya menjadi dua kali lipat daripada wilayah sebelumnya. Hal ini akan berdampak pada sistem pertahanan dan pemerintahan yang harus dijalankan di koloni-koloni Inggris tersebut. Wilayah yang luas berarti membutuhkan tentara dan pegawai yang banyak serta membutuhkan finansial yang lebih besar untuk mengurus segala keperluan negara.
Gerakan-gerakan Koloni menuju Kemerdekaan
Kemenangan Inggris dalam perang laut tujuh tahun membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan kehidupan para koloni selanjutnya. Bagi para koloni, pengalaman perang laut tujuh tahun membuat mereka lebih berani untuk menuntut kebebasan yang lebih besar dari kekuasaan Inggris. Hal ini disebabkan dalam perang laut tujuh tahun tersebut para koloni juga ikut andil dalam kancah peperangan. Pembentukan milisi-milisi dari setiap koloni memberikan pengalaman dan keyakinan bagi para koloni bahwa mereka sanggup untuk mempertahankan keamanan daerahnya sendiri meskipun tanpa bantuan tentara Inggris.
Sebaliknya, pemerintah Inggris sesudah perang membutuhkan lebih banyak lagi uang untuk mengganti kerugian perang serta untuk mengatur wilayah yang semakin luas. Untuk menambah sumber keuangan Inggris maka pemerintah Inggris memberlakukan berbagai pajak terhadap para koloni, di antaranya sebagai berikut.
- Sugar Act (undang-undang gula), yaitu pemberlakuan pajak untuk mengatur perdagangan gula di daerah koloni. Melalui undang-undang ini, Inggris menetapkan pajak dan bea cukai perdagangan gula.
- Curency Act (Undang-undang keuangan), yaitu pelarangan bagi setiap koloni untuk mencetak mata uang sendiri.
- Stamp Act (Undang-undang Perangko), yaitu pemberlakuan pajak bagi setiap dokumen dan surat-surat penting yang digunakan dalam kegiatan perdagangan.
- Quartering Act, yaitu undang-undang yang berisi tentang kewajiban bagi setiap koloni untuk menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan makanan bagi tentara Inggris yang ditempatkan di daerah-daerah koloni.
Untuk mencegah penyelundupan maka kapal perang Inggris di perairan Amerika ditugaskan untuk menangkap semua penyelundupan serta memberi kuasa kepada petugas kerajaan untuk menggeledah dan menangkap siapa saja yang dicurigai. Pemungutan pajak secara paksa telah menimbulkan kegelisahan di antara para pedagang yang selama ini telah mengadakan perdagangan dengan luar negeri tanpa bea apapun. Pemungutan pajak baru ini akan merugikan para pedagang. Undang-undang mata uang yang melarang surat kredit yang dikeluarkan di koloni-koloni telah menghambat kelancaran perdagangan karena mereka kekurangan mata uang sebagai alat pembayaran. Undang-undang perangko yang mengenakan pajak berupa perangko dan materai bagi surat-surat pos dan surat-surat resmi lainnya dirasakan oleh masyarakat koloni sebagai beban baru. Demikian juga dengan Undang-undang yang mengharuskan koloni menyediakan keperluan dan persediaan bagi pasukan-pasukan kerajaan Inggris di koloni dianggap oleh koloni sangat memberatkan mereka.
Timbul reaksi yang cukup hebat di kalangan masyarakat koloni yang menentang pemberlakuan pajak-pajak tersebut. Reaksi-reaksi tersebut ditunjukkan oleh berbagai lapisan masyarakat koloni tidak hanya kaum pedagang saja, seperti wartawan, ahli hukum, pendeta, pengusaha dan lain-lain. Para pedagang besar bersatu untuk tidak mendatangkan barang-barang dari Inggris, sehingga perdagangan dengan Inggris merosot secara tajam pada tahun 1765. Selain itu, sebagian besar penduduk koloni bersepakat untuk memboikot barang-barang dari Inggris dan sebagai gantinya mereka akan mempergunakan barang-barang yang dihasilkan sendiri oleh koloni-koloni. Oleh karena itu, mereka tidak perlu membayar pajak bagi barang-barang yang berasal dari Inggris.
Para koloni menolak membayar pajak karena mereka menganggap tidak memiliki wakil di parlemen Inggris. Oleh karena itu, mereka tidak berhak dikenakan pajak untuk kerajaan Inggris. Pada saat itu muncul tuntutan yang berupa slogan no taxation without representation (tidak ada pajak tanpa adanya perwakilan pihak koloni). Para koloni baru akan membayar pajak apabila mereka memiliki perwakilan di dalam parlemen Inggris yang tentu saja akan membawa aspirasi mereka. Pada tahun 1765, diadakan kongres di antara wakil-wakil koloni di Amerika. Dalam kongres tersebut, koloni-koloni sependapat untuk mempersatukan sikap mereka dalam menentang campur tangan parlemen Inggris dalam urusan-urusan Amerika. Kongres ini juga mengajukan resolusi yang berisi bahwa parlemen Inggris tidak berhak memutuskan untuk memungut pajak dari koloni-koloni, melainkan hanya badan legislatif koloni masing-masing yang berhak menentukan pajak dari koloni-koloninya.
Reaksi penolakan masyarakat koloni terhadap pemberlakuan pajak dari Inggris ini dilakukan juga dengan cara menolak kedatangan para pejabat pemungut pajak yang ditugaskan oleh pihak Inggris. Reaksi tersebut bahkan sampai menimbulkan pertumpahan darah seperti ditunjukkan dengan terjadinya peristiwa yang disebut dengan Pembantaian Boston (The Boston Massacre) pada tahun 1770. Peristiwa ini terjadi ketika pejabat pemungut pajak datang ke kota Boston dan mereka kemudian disambut oleh penduduk kota tersebut dengan mengeroyok dan memukuli para pejabat tersebut. Hal ini kemudian dibalas oleh pihak Inggris dengan cara mendatangkan sejumlah tentara. Kehadiran pasukan Inggris tersebut semakin memicu kemarahan penduduk kota Boston, sehingga terjadilah kerusuhan yang kemudian menewaskan lima orang sipil. Peristiwa tersebut menggambarkan betapa pemerintah kolonial Inggris telah memaksakan kehendaknya kepada rakyat Amerika.
Untuk sementara ketegangan dapat diredakan dengan dicabutnya pemberlakuan pajak-pajak tersebut oleh Inggris, kecuali pajak teh. Inggris mengeluarkan undang-undang teh yang memberikan hak monopoli kepada East India Company untuk melakukan ekspor teh ke seluruh daerah koloni. Para koloni memberikan reaksi dengan jalan melakukan boikot seluruh produksi teh Inggris yang dimasukkan ke koloni. Para koloni meminta agar para agen Inggris tidak menjual tehnya ke pasar Amerika dan mengembalikan teh-teh yang sudah sampai di Amerika ke Inggris atau ditimbun di gudang-gudang. Akan tetapi para pengusaha Inggris ini tidak mengindahkan anjuran kaum kolonis dan tetap memasukkan teh-teh tersebut ke pelabuhan Amerika. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para koloni.
Pada malam tanggal 16 Desember 1773, dengan menyamar sebagai Indian Mohawk, kaum kolonis menaiki tiga kapal Inggris bermuatan teh yang sedang berlabuh di pelabuhan Boston. Mereka kemudian menceburkan muatan teh tersebut ke laut, sehingga laut kota Boston berubah menjadi lautan teh. Peristiwa ini oleh kaum kolonis disebut Boston Tea Party (pesta teh Boston) ini sangat menjengkelkan dan menimbulkan kemarahan bagi Inggris.
Peristiwa teh Boston memicu parlemen Inggris untuk mengeluarkan peraturan-peraturan bagi koloni di Amerika. Peraturan-peraturan yang kemudian disebut oleh para kolonis sebagai undang-undang paksaan ini berisi tentang:
- menutup pelabuhan kota Boston sampai muatan tehnya selesai dibayar;
- anggota dewan rakyat Massachussetts akan ditunjuk oleh raja Inggris yang sebelumnya dipilih oleh rakyat koloni itu sendiri;
- anggota dewan juri dalam pengadilan ditunjuk oleh Sherif yang merupakan bawahan gubernur, sedangkan sebelumnya dipilih oleh rapat koloni;
- rapat kota diadakan hanya dengan i in gubernur, sedangkan sebelumnya tidak diperlukan i in.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris itu sangat menyinggung perasaan kaum kolonis terutama penduduk kota Boston. Penduduk koloni-koloni lain pun memberikan dukungan dengan cara mengadakan rapat bersama antarkoloni pada tanggal 5 Desember 1774. Rapat yang diadakan di kota Philadelphia ini kemudian dikenal dengan sebutan Kongres Kontinental Kesatu. Dalam kongres ini semua delegasi sepakat untuk mengeluarkan deklarasi hak dan keluhan (Declaration of Right and Grievances) yang berisi pernyataan akan tetap setia kepada raja, namun tetap menentang hak parlemen Inggris untuk mengenakan pajak terhadap koloni-koloni di Amerika.
Tampaknya para koloni belum memiliki kesadaran dan keinginan untuk melepaskan diri dari Inggris. Meskipun beberapa penduduk koloni yang disebut sebagai kaum patriot mengobarkan keinginan kemerdekaan koloni Amerika dari tangan Inggris. Akan tetapi sebagian besar para koloni tetap menghendaki
adanya hubungan dengan Kerajaan Inggris. Kongres kontinental Kedua yang diselenggarakan pada tanggal 10 Mei 1775 pun belum mencapai pada kesepakatan melepaskan diri dari Inggris. Meskipun pada saat itu, sudah pecah perang antara milisi koloni dengan tentara Inggris, akan tetapi kesepakatan yang dicapai baru sebatas perlunya mengangkat senjata untuk melawan kesewenangan Inggris dan belum pada pernyataan kemerdekaan. Pada waktu itu, orang-orang Amerika sesungguhnya belum insaf akan tujuan perang mereka. Mereka berperang karena mereka merasa tertindas oleh aturan-aturan Inggris dan bukan untuk merdeka.
Para patriot Amerika terus berusaha untuk menggugah para kolonis Amerika untuk menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Salah seorang dari kaum patriot ini adalah Thomas Paine yang membuat sebuah tulisan yang kemudian diberi judul Common Sense. Tulisan Paine berisi tentang gugatan terhadap sistem kerajaan dan Raja Inggris. Melalui tulisannya, Paine menggugah rakyat Amerika untuk berpikir secara rasional lagi akan maksud dari keberadaan mereka di tanah Amerika ini. Bentuk Kerajaan Inggris sudah tidak cocok lagi bagi rakyat Amerika. Oleh karena itu, perlu dibentuk pemerintahan baru yang cocok dengan kepribadian rakyat Amerika. Pemerintahan baru tersebut adalah pemerintahan yang berbentuk Republik yang diperintah oleh orang-orang Amerika sendiri. Dengan demikian, perlu dilakukan pernyataan kemerdekaan dari tangan Inggris. Tulisan dari Paine ini menarik sekitar 150.000 pembaca di Amerika dan berhasil mempengaruhi rakyat Amerika untuk mendesak kongres masing-masing koloni menyatakan kemerdekaan.
Revolusi Amerika dan pernyataan Kemerdekaan
Sejak tahun 1775 sebenarnya telah berlangsung pertempuran antara milisi koloni dengan pihak tentara Inggris sebagai kelanjutan dari peristiwa Boston Tea Party. Perang ini kemudian memicu perang-perang terbuka antara pasukan Inggris dengan pasukan koloni Amerika lainnya. Akan tetapi perang-perang tersebut belum berupa perang untuk menuntut kemerdekaan dari Inggris hanya sebatas pernyataan ketidaksukaan terhadap perlakuan Inggris terhadap koloni Amerika.
Pada tanggal 4 Juli 1776, kongres Kontinental di Philadelphia mengumumkan suatu pernyataan kemerdekaan Amerika. Ketigabelas koloni pada saat itu bersepakat bersatu dan membentuk negara baru yaitu Amerika Serikat. Deklarasi kemerdekaan itu merupakan suatu filsafat tentang kebebasan hak asasi manusia dan hak suatu bangsa untuk mengatur diri sendiri demi kebahagiaan mereka bersama.
George Washington |
Sementara itu, peperangan semakin meluas hampir di seluruh tiga belas koloni. Pada mulanya tentara Amerika yang dipimpin oleh George Washington tersebut selalu mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami oleh Amerika disebabkan oleh faktor kelemahan militer Amerika yang sebagian besar terdiri atas kalangan sipil yang tidak memiliki pengalaman tempur. Hal ini berbeda dengan kondisi tentara Inggris yang jauh lebih besar dan berpengalaman di medan tempur, bahkan Inggris terkenal di dunia sebagai negara yang memiliki militer yang kuat terutama angkatan lautnya.
Di samping masalah militer, Amerika juga dihadapkan pada kondisi di dalam masyarakat yang belum seluruhnya mendukung terhadap kemerdekaan Amerika. Beberapa golongan masyarakat yang justru umumnya berasal dari kelas menengah ke atas masih banyak yang pro terhadap Inggris dan tidak setuju kalau Amerika merdeka menjadi suatu negara. Perpecahan di dalam tubuh masyarakat Amerika ini seringkali menjadi kendala bagi para patriot untuk mencapai kemenangan dari pihak Inggris.
Menyadari kelemahan tersebut, para pemimpin Amerika berusaha untuk menyusun strategi agar dapat mengalahkan kekuatan Inggris. Strategi yang kemudian dilakukan adalah dengan meminta dukungan terhadap negara-negara Eropa lainnya terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Amerika. Permintaan dukungan tersebut terutama diarahkan pada negara-negara yang memiliki konflik dengan Inggris seperti Prancis, Spanyol, Denmark, dan Belanda. Melalui dutanya yang bernama Benjamin Franklin, Amerika berhasil menyusun dukungan dari negara-negara Eropa tersebut terutama dari Prancis untuk membantu perang kemerdekaan Amerika.
Bantuan segera mengalir dari Eropa, terutama dari Prancis yang ingin membalas kekalahannya dalam perang laut tujuh tahun terhadap Inggris. Bantuan Prancis dikirim berupa persenjataan serta pasukan tentara yang dipimpin oleh jenderal Lafayette. Angkatan laut Prancis juga melakukan blokade terhadap masuknya bala bantuan Inggris ke Amerika. Pada tahun 1779, Spanyol membantu Amerika Serikat dengan dilatarbelakangi keinginan untuk merebut kembali Gibraltar dan Florida yang telah dikuasai oleh Inggris.
Pembentukan aliansi internasional sebenarnya tidak menjamin sepenuhnya kemenangan Amerika terhadap Inggris. Akan tetapi, bantuan Internasional tersebut memiliki peran yang cukup besar bagi tumbuhnya semangat juang pasukan kontinental Amerika. Hal ini terbukti sejak tahun 1780, pasukan Amerika berhasil mengalahkan pasukan Inggris di berbagai pertempuran. Walaupun daerah Carolina, Charleston, dan Virginia sempat dikuasai oleh Inggris, akan tetapi pada pertempuran berikutnya pasukan Inggris berhasil dikalahkan oleh pasukan gabungan Amerika dan Prancis. Gabungan pasukan George Washington dan Rochambeau yang berjumlah 15.000 orang berhasil mengalahkan pasukan Inggris di bawah pimpinan Lord Cornwalis di daerah Yorktown, pantai Virginia. Akhirnya pada tanggal 19 Oktober 1781, pasukan Cornwalis menyerah dan parlemen Inggris segera memutuskan untuk menghentikan perang.
Pada tahun 1782, perjanjian perdamaian dimulai antara Amerika Serikat dengan Inggris dan baru pada tanggal 3 September 1783 secara resmi ditandatangani perjanjian perdamaian tersebut. Hasil Perjanjian Paris tahun 1783 berisi tentang pengakuan Inggris terhadap kemerdekaan dan kedaulatan ketiga belas koloni menjadi negara merdeka yaitu Amerika Serikat. Selain itu, Inggris juga menyerahkan daerah bagian barat Mississippi kepada negara baru tersebut. Sesudah peperangan berakhir, kongres Amerika kemudian mengusulkan agar 13 negara bagian menyerahkan kembali hak milik kaum moderat/royalis yang dulu pro terhadap Inggris yang selama peperangan disita oleh kaum milisi. Pasca perang negara baru ini mulai berkonsentrasi untuk menyusun pemerintahan nasional yang dapat menaungi seluruh aspirasi rakyat Amerika.
Pengaruh revolusi Amerika bagi perkembangan pergerakan nasional di Indonesia
Revolusi Amerika atau yang sering disebut juga dengan perang kemerdekaan Amerika merupakan suatu revolusi yang sangat penting artinya bagi umat manusia. Pentingnya revolusi ini karena merupakan peperangan untuk mempertahankan kebebasan, kemerdekaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu juga merupakan bentuk penentangan terhadap penindasan terhadap sesama manusia.
Pernyataan kemerdekaan itu di antaranya berbunyi:
... dan dengan sendirinya terang bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat ditawar gugat. Di antaranya hak untuk hidup, kemerdekaan dan kehendak mencapai kebahagiaan. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, pemerintah harus dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaan atas persetujuan mereka yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi pemeliharaan maksud itu adalah hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan pemerintah itu dan membentuk pemerintah baru”.
Kita lihat bahwa paham-paham yang terdapat dalam pernyataan kemerdekaan Amerika (Declaration of Independence) tersebut berisi pahampaham modern tentang pemerintahan. Paham-paham yang dikembangkan dalam deklarasi tersebut memuat pernyataan tentang kedaulatan rakyat dan kemutlakan hak-hak asasi manusia. Hal ini cukup menarik karena justru dalam negeri baru seperti Amerika yang pada waktu itu sebenarnya belum mempunyai kebudayaan sendiri dapat berkembang paham-paham tersebut. Bahkan paham-paham ini mampu mempengaruhi negara lainnya terutama di Eropa untuk melakukan gerakan menentang sifat-sifat tirani dan absolutisme raja. Pada sekitar abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19, di Eropa timbul gerakan rakyat tertindas untuk menggulingkan pemerintahan raja yang memerintah sewenang-wenang. Contoh yang paling nyata dari pengaruh revolusi Amerika ini adalah dengan terjadinya revolusi Prancis tahun 1789.
Pada saat berkecamuknya Revolusi Amerika, Indonesia sedang berada dalam cengkraman penjajahan Belanda. Meskipun tidak terjadi dalam kurun waktu yang cepat atau bersamaan, tampaknya revolusi Amerika memberikan pengaruh terhadap munculnya pergerakan nasional di Indonesia. Pengaruh tersebut lebih bersifat pada paham-paham tentang hak bagi setiap bangsa untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan. Tokoh-tokoh pergerakan Nasional Indonesia yang telah mengenyam pendidikan Barat mulai menyadari akan makna pentingnya kemerdekaan bangsa. Tentu saja kesadaran tersebut tidak timbul begitu saja, melainkan melalui proses yang cukup panjang. Proses pengenalan mereka terhadap sejarah bangsa-bangsa lain, terutama Amerika Serikat dalam memperoleh kemerdekaan memberikan inspirasi bagi mereka untuk melakukan hal yang sama bagi bangsanya yaitu kemerdekaan.
Paham-paham yang dicantumkan dalam Declaration of Independence Amerika Serikat memuat tentang pengakuan hak-hak asasi manusia yang bersifat universal. Hak tersebut yaitu hak untuk hidup, merdeka dan memperoleh kebahagiaan. Tampaknya paham tentang hak asasi ini menjadi pendorong bagi tokoh-tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama yaitu penuntutan diakuinya hak asasi mereka oleh penjajah Belanda. Hal itu bisa kita lihat dalam Mukadimah UUD 1945 yang juga mencantumkan pernyataan tentang pengakuan hak-hak asasi manusia atau bangsa.
Dalam Mukadimah UUD 1945 dicantumkan pernyataan: “... bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan...”. Meskipun pernyataan tersebut bukan merupakan kutipan yang meniru secara bulat isi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat, akan tetapi paham yang dikembangkan di dalamnya memiliki kesamaan yaitu pengakuan terhadap hak asasi manusia atau bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa tampaknya paham-paham yang dikembangkan dalam revolusi kemerdekaan Amerika memberikan pengaruh yang berarti bagi berkembangnya paham yang sama di Indonesia, terutama paham yang ingin mewujudkan hak asasi manusia dan kemerdekaan bagi setiap bangsa.
0 comments:
Post a Comment